[Bagian Kedua]
Pada bagian pertama sebagai refleksi momentum Hari pendidikan nasional (Hardiknas) kita telah mengulas pandangan mengenai konsep pendidikan dari beberapa
pemikir. Kita juga telah menyinggung sedikit mengenai model pendidikan di KORPALA Unhas. Sesuai dengan judul besar tulisan di atas, maka pada bagian
ini saya akan memandu pembaca untuk masuk lebih dalam tentang pendidikan di
organisasi pencinta alam, khususnya KORPALA.
Kita lanjut
dengan tujuan pendidikan. Secara tekstual ada 3 poin dalam konsep pendidikan
yang berbicara mengenai tujuan. Dua di antaranya bersifat non-teknis dan
sisanya bersifat teknis. Aspek non-teknis pertama ialah soal dedikasi dan
loyalitas. Secara definisi teman-teman bisa cari sendiri. Kita tidak akan
membahasnya secara etimologi, namun satu yang pasti, mengukur kadar dedikasi
dan loyalitas tidak semudah mengukur salinitas air laut menggunakan Salinometer. Bahkan untuk
menyimpulkannya dapat membuka ruang debat kusir yang tak berujung. Intinya, 2
aspek ini sangat bermanfaat bagi kita di mana pun berada. Sekali lagi, kader
yang berdedikasi serta memiliki loyalitas adalah aset yang sangat bernilai bagi
sebuah organisasi.
Tujuan yang
kedua adalah memupuk rasa persaudaraan antar sesama pencinta alam. Pada bagian
ini kita tidak akan memperdebatkan siapa saja yang berhak menyandang predikat
pencinta alam. Apakah yang secara administratif terdaftar pada organisasi
pencinta alam, ataukah orang – orang yang mendedikasikan hidupnya bagi lingkungan dan kemanusiaan,
mendiang Salim Kancil misalnya. Namun
untuk memudahkan penjelasan, kita akan merujuk pada hubungan antara organisasi
pencinta alam. Bentuk paling kongkret dari hal ini ialah saat terjadi bencana
alam maupun insiden di lapangan (operasi SAR). Seakan tanpa komando berarti,
para Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) yang bernaung di bawah Pusat Komando Koordinasi
Daerah (PKD) selalu hadir sebagai ujung tombak meski tak selalu tampil di depan
media. Lalu apa yang melandasi kemauan bertindak seperti itu ?, Tak lain adalah persaudaraan, kebersamaan dan kemampuan ber-empati
antar penggiat kegiatan alam bebas maupun sesama organisasi pencinta
alam yang kian direkatkan oleh Kode etik pencinta alam Indonesia (Kepai).
Tujuan yang
terakhir ialah keterampilan dasar kepencinta-alaman. Betul, yang dimaksud di
sini ialah perihal kemampuan teknis berpetualang di alam bebas. Seperti
diketahui bersama bahwa berpetualang maupun beraktivitas di alam bebas memiliki
resiko yang jika tidak dikelola dengan ilmu/latihan dapat berujung fatal.
Sebuah data yang dirilis oleh Basarnas seharusnya cukup
membuat kita mengelus dada. Bagaimana tidak, menurutnya (Basarnas) terdapat
peningkatan angka kecelakaan di gunung dalam 4 tahun terakhir. Tentu saja ada
beberapa faktor penyebab hal tersebut, salah satunya ialah kurangnya
keterampilan. Keterampilan dasar kepencintaalaman memang nilai wajib yang harus
dimiliki oleh anggota KORPALA.
Pendidikan (di)
Alam
Salah satu
perumpamaan yang paling sering kita dengar soal pendidikan dan pembelajaran
adalah “gelas kosong”. Sosok pembelajar/peserta didik kita analogikan sebagai
gelas kosong. Sedangkan ilmu maupun keterampilan kita andaikan sebagai air yang
akan mengisi gelas tersebut. Salah satu syarat mutlak terjadinya transformasi
ilmu pada kasus ini ialah kondisi di mana gelas tersebut harus benar – benar
kosong. Praktik pengosongan gelas ini kita sebut saja dengan merendahkan
kerendahan diri. Lalu apa hubungan semua ini dengan menjadikan alam sebagai
guru sekaligus media belajar. Bukankah proses mendidik bisa dilakukan di mana
saja, bahkan tanpa melalui tatap muka langsung (daring). Kita akan membahasnya
dengan mengajukan Navigasi Darat sebagai contoh materi.
Navigasi
darat adalah salah satu materi dasar dalam dunia kepencintaalaman. Kemampuan
dalam memahami serta mempraktikkan materi ini bukan hanya dapat mengurangi
resiko disorientasi (tersesat), tetapi juga dapat dijadikan rujukan dalam
merencanakan perjalanan (alam terbuka) yang aman dan efisien. Sebagai contoh,
tanpa kemampuan bermain Peta dan Kompas mustahil kita dapat mengetahui jalur
yang sedang atau akan dilalui. Apakah jalur tersebut tetap membuat kita di
punggungan atau akan menemui patahan. Kalau pun harus berhadapan dengan
patahan, setidaknya peralatan Rappeling telah
dipacking serta. Bukankah lebih rasional ketimbang memilih opsi balik kanan
dengan konsekuensi menambah durasi perjalanan. Atau bahkan opsi yang lebih
konyol dengan menuruni tebing tanpa pengaman berarti. Begitulah kiranya sekilas
pengantar soal Navigasi Darat.
Metode pengajaran
materi navigasi darat ini dilakukan dengan ceramah teori serta praktik lapangan. Tanpa mengecilkan muatan materi
kelas, navigasi darat adalah materi yang harus dipraktikkan di alam. Menurut Arif, proses aplikasi
navigasi darat (di lapangan) dimaksudkan agar peserta didik lebih dekat dengan
objek alam sehingga lebih memudahkan dalam mengamati serta mengenali. “Bagaimana
pun hebatnya seorang instruktur dalam menjelaskan, tujuan dari pembelajaran
tidak akan tercapai. Tujuan dari pembelajaran yang berkaitan dengan skill,
mestinya membutuhkan proses pembelajaran langsung di lapangan”, lanjut mahasiswa
Pascasarjana Teknik Geologi, Universitas Hasanuddin ini. Tampaknya Arif yang
telah menjadi instruktur sejak tahun 2015 ini paham betul bagaimana peran
alam/lapangan dalam mengasah keterampilan dan karakter peserta didik.
Gambar : Aplikasi lapangan materi Navigasi Darat |
Mari
kembali kita ulas perihal gelas kosong dan kerendahan diri. Manusia adalah satu
dari sekian juta spesies yang masih eksis hingga saat ini. Berbekal kemampuan
berpikir dan mendirikan peradaban, spesien bernama latin Homo Sapiens ini sukses berada di puncak teratas dalam rantai
makanan. Meskipun kedigdayaannya mulai digoyang oleh spesies renik bernama
virus. Berbekal semua anugrah yang dimiliki rasanya sangatlah wajar jika
manusia kerap bertindak angkuh dan berbesar diri. Namun ada kalanya kita
manusia merasa sangat kecil dan tak berarti. Salah satu momen yang dapat
memunculkan rasa tersebut adalah saat kita berada di alam terbuka. Saat di mana
seluruh persendian menggigil ngilu diterpa hujan badai. Atau saat kita
berhadapan dengan derasnya aliran sungai yang seakan dapat menghanyutkan apa
saja yang berusaha menyebranginya. Sungguh saat itu kita merasa begitu kecil
dan di saat bersamaan kita merasa sangat dekat dengan Tuhan.
KORPALA tidak melihat alam sebagai media pendidikan dan pengembangan diri belaka.
Ketika melihat alam hanya sebagai objek kita hanya akan kembali pada pusaran ego
antroposentris. Pandangan seperti itu hanya akan melanggengkan eksploitasi
berlebihan bahkan pengrusakan alam. Sudah saatnya kita hidup berdampingan antar
sesama subjek, bukan subjek dan objek.
Terima kasih.
Oleh : Muh. Ihsan | K. 125 14 489 | Ketua Umum KORPALA Unhas Periode 2015-2016
0 Response to "Mengapa Pendidikan di KORPALA berbeda"
Posting Komentar