Antroposentrisme lahir dari pertentangan
pikiran terhadap tradisi keagamaan yang
dianggap mengekang akal sehat. Melalui serangkaian pencerahan, manusia mulai
beranggapan bahwa segala persoalan di alam semesta dapat diselesaikan lewat
jalan pemikiran. Sebagai satu – satunya spesies dalam ekosistem yang
dianugerahi kemampuan berpikir, manusia kian adidaya sekaligus menjadi pemuncak
rantai makanan. Manusia pun memproklamirkan dirinya sebagai pusat alam semesta
(Antroposentris). Paham ini pula yang menjadikan dan menganggap manusia sebagai
satu – satunya objek dalam semesta kehidupan. Hal ini berarti entitas – entitas
lain hanya subjek yang diciptakan Tuhan demi kemaslahatan anak cucu Adam
semata.
Sekilas tak ada yang keliru dengan pandangan
ini. Terlebih konstitusi kita yakni UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, sangat kental
muatan Negara-Sentris sekaligus Antroposentrisme
di dalamnya. Ayat tersebut berbunyi bahwa ”Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tentu saja pembaca boleh silang pendapat dengan saya
sembari mengajukan argumen tandingan. Tapi sebelum itu biarkan saya melanjutkan
tulisan ini sambil menyodorkan fakta betapa faktor manusia (antropogenik)
selalu hadir sebagai penyebab kerusakan alam dalam hal ini ekosistem.
Kerusakan
ekosistem terumbu karang
Bagi yang pernah menyelam tentu
paham betul betapa indahnya ekosistem ini. Kombinasi bentuk yang unik ditambah
keberagaman warna yang luar biasa tentu sangat memanjakan mata. Bersama sejuta
keindahan yang dimiliki, terumbu karang juga berperan terhadap keberlangsungan
ekosistem laut. Terumbu karang merupakan tempat
berlindung bagi banyak biota laut berkembang biak.
Sedangkan fakta lain yaitu terumbu karang merupakan tempat biodiversitas
(keanekaragaman hayati) tertinggi yang ada di muka bumi, yang artinya bahwa
setiap KM2 terumbu karang dihuni oleh spesies mahkluk hidup paling
banyak daripada hutan, ataupun habitat lain.
Selain sebagai rumah bagi ribuan spesies laut dangkal, terumbu karang juga diyakini sebagai benteng terdepan dalam menghalau abrasi pantai. Keberadaan ekosistem ini telah terbukti dapat meredam energi gelombang sebelum menghantam pesisir. Salah satu jenis terumbu karang yang paling kokoh ialah yang memiliki bentuk pertumbuhan (life form) massive. Karang jenis ini ibarat benteng Konstantinopel yang berulang kali sukses mematahkan serangan berbagai bangsa yang coba menginvasi. Meskipun pada akhirnya ini bobol juga akibat serangan pasukan Turki.
Struktur dan komponen yang kokoh
dari jenis karang (massive) ini membuatnya menjadi incaran para penambang untuk
dijadikan pondasi rumah. Tidak sulit menemukan ratusan bahkan ribuan bongkahan
karang ini tersusun rapi di sekitar
rumah dan bangunan masyarakat pesisir. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa
pondasi yang kokoh dapat menyelamatkan bangunan tersebut dari ancaman abrasi.
Cara hidup Antroposentrik seperti ini memang selalu menempatkan alam dan
lingkungan sebagai pemuas hidup jangka pendek. Ibarat cinta sesaat dalam satu
malam yang tak jarang menuai resiko berkepanjangan.
Pandangan seperti itu juga dianut
oleh para pelaku destructive fishing
aka penangkapan ikan dengan cara ilegal lagi merusak. Salah satu contoh nyata
ialah dalam kejahatan pemboman ikan. Praktik
seperti inilah yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang. Sebuah
laporan yang dirilis Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyimpulkan, dari sekitar 2,5 juta hektar
luas terumbu karang di Indonesia, hanya 6,39 persen terumbu karang berada dalam
kondisi sangat baik, 23,40 persen dalam kondisi baik, 35,06 persen dalam
kondisi cukup, dan 35,15 persen berada dalam kondisi jelek. Pengukuran
didasarkan pada persentase tutupan karang hidup, yaitu kategori sangat baik
(76-100 persen), baik (51-75 persen), cukup (26-50 persen), dan jelek (0-25
persen).
Pendataan tutupan karang
dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) di perairan Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto oleh Muh. Ihsan |
Data tersebut adalah kondisi di tahun 2017. Jika kita
mengajukan sebuah hipotesis dengan menggunakan variabel pertumbuhan jumlah penduduk,
bukan tidak mungkin kondisi tersebut kian parah dewasa ini. Apalagi jika tidak
dibarengi peningkatan kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan.
Menyambung
data di atas, Suharsono yang juga peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi
(P2O) LIPI mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah akar penyebab kerusakan
terumbu karang. Sejumlah akar penyebab itu adalah rendahnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat terhadap nilai penting terumbu karang, kemiskinan, keserakahan,
kelemahan penegakan hukum, kurangnya kapasitas dan kapabilitas pengelola
kawasan, perubahan iklim, serta peningkatan pencemaran.
“Adapun
penyebab utama kerusakan karang adalah pemakaian alat tangkap yang merusak,
peningkatan pencemaran, serta pemanasan global yang memicu pemutihan karang dan
diikuti penyakit dan hama karang. Akibat kematian karang, berbagai biota
penghuni karang yang bersimbiosis dengan karang ikut menghilang, termasuk ikan komersial,
kerapu”, ungkap pakar yang selalu menjadi rujukan dalam skripsi tentang ekologi
laut tersebut.
Itu baru
satu contoh ekosistem yang rusak akibat faktor Antroposentrik. Terumbu karang tentu bukan satu-satunya korban,
masih banyak ekosistem, habitat bahkan spesies yang keberadaannya sering
dinafikan oleh manusia. Bahkan mungkin suatu saat nanti ekosistem di Matahari
(jika ada) pun akan terancam. Sudah waktunya kita beranjak dari cara pandang Antroposentris yang dalam etika
lingkungan hidup mendapat sindiran sebagai shallow
Ecology. Kini saatnya kita
menyongsong paham dan cara pandang yang lebih lestari.
*************************
Saya teringat ungkapan
“Cogito ergo sum” milik Rene Descartes
yang melegenda itu. Ungkapan yang kurang lebih memiliki arti Aku ada karena
kamu ada “aku berpikir maka aku ada” tersebut mengisyaratkan bahwa
eksistensi manusia terletak pada buah pikiran. Betapa muatan pikiran sangat
menentukan tingkah laku manusia dalam hidup. Maka dari itu mari kita buang jauh – jauh watak Antroposentris dan memulai berlaku konservatif sejak di alam
pikiran. Karena selemah-lemahnya iman
ialah berpikir untuk tidak merusak alam.
Viva KORPALA Unhas !
Oleh Muh. Ihsan, Koordinator Bidang Bahari periode 2014-2015
0 Response to "Paham Antroposentris dan dampaknya terhadap kelestarian alam"
Posting Komentar