Orang Laut Korpala: Menghidupi Laut yang Dilupakan

     Di Pelabuhan Paotere, angin laut menggerakkan layar sandeq yang terkembang. Perahu kayu bercadik itu—warisan leluhur suku Mandar—sedang dipersiapkan untuk Ekspedisi Pelayaran Akademis (EPA) ke-3. Enam puluh hari mengarungi laut dari Makassar ke Thailand. “Kami bukan petualang,” kata seorang Orang Laut Korpala, “kami hanya ingin memahat kesadaran: laut adalah nadi yang memompa darah ke jantung peradaban kami.”

     Tapi di seberang pulau, 14 kilometer dari pelabuhan itu, ada Pulau Barrang Lompo. Di sana, Marine Station Universitas Hasanuddin (Unhas) berdiri sepi. Atapnya lapuk, jaring laba-laba menggantung di sudut ruang kuliah yang tak pernah dipakai, dan plang nama “Marine Station” telah hanyut bersama polusi sampah plastik. Pada 1975, Unhas menetapkannya sebagai aset universitas: laboratorium biologi kelautan akan berdampingan dengan ruang kajian antropologi maritim, sementara ahli hukum laut dan insinyur perkapalan berkolaborasi di dermaga penelitian. Mimpi itu dijahit dengan benang-benang harapan: panel surya mandiri, pengolah air asin, helipad untuk tamu internasional, hingga museum yang menyimpan kekayaan bahari Nusantara. Kini, mimpi itu teronggok di bawah bayang-bayang kampus yang lebih sibuk menggaet investor ketimbang menghidupkan laboratorium.

     Seandainya Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang membangunnya, Marine Station Barrang Lompo mungkin telah menjadi ikon maritim Asia Tenggara. MIT—dengan kecerdikannya merancang Interdisciplinary Science Centers—akan mengubah pulau itu jadi pusat gravitasi saintis dunia. Laboratorium oseanografi dengan sensor real-time terhubung ke jaringan global, pusat data digital tentang biodiversitas Coral Triangle—Segitiga Terumbu Karang Dunia, dan makerspace untuk teknologi energi terbarukan. Tapi Unhas bukan MIT. Di sini, Marine Station direduksi jadi aset Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), seolah laut hanya urusan nelayan dan ikan, bukan geolog yang mempelajari sedimentasi karang atau antropolog yang mendokumentasikan mantra tua nelayan Bugis.

     Sejak berstatus PTN-BH, universitas ini lebih bangga memamerkan nota kesepahaman dengan konglomerat ketimbang mempublikasikan riset terumbu karang. Ketika pemerintah menggoda dengan wacana “kampus pengelola tambang”, birokrat kampus bersemangat layaknya pedagang yang melihat tumpukan emas. Tapi tanyalah pada mereka: di mana kajian tentang dampak tambang laut terhadap ekosistem? Di mana ruang diskusi tentang hak masyarakat pesisir? Jawabannya tersembunyi di balik spanduk “World Class University” yang digantung di gedung-gedung megah ber-AC.

     Di tengah hiruk-pikuk itu, Korpala Unhas memilih jalan sunyi: menghidupkan laut dengan cara yang diajarkan nenek moyang. Orang Laut Korpala—begitu mereka menyebut diri—tidak membutuhkan kapal riset berteknologi tinggi. Sandeq, perahu tradisional yang telah mengarungi Samudra Hindia sejak abad ke-14, adalah jawaban mereka. “Sandeq ini lebih dari sekadar kayu dan layar,” tutur anggota tim ekspedisi, “ia adalah buku sejarah yang mengapung.”

     Bagi suku Mandar, sandeq adalah simbol ketangguhan. Ia dirancang untuk menari dengan ombak, bukan melawannya. Di EPA-1 (1996), Korpala membuktikannya dengan berlayar ke Sabah, Malaysia—napak tilas jalur rempah nenek moyang. Di EPA-2 (2011), mereka melangkah lebih jauh: 40 hari dari Makassar mengarungi Laut Arafuru menuju Darwin, Australia, membungkam skeptisisme kesanggupan sandeq si perahu kayu melintasi rute panjang samudra. Kini, di EPA-3, filosofi itu dihidupkan kembali. Enam puluh hari mengarungi laut bukanlah perlombaan melawan waktu, tapi dialog dengan alam. Setiap hentakan dayung adalah pertanyaan: masih adakah ruang untuk nelayan tradisional di tengah gempuran kapal pukat harimau? Setiap terpaan angin adalah refleksi: akankah identitas bahari kami tenggelam oleh gengsi “kampus berkelas dunia”?

     Di Pelabuhan Paotere, sandeq EPA ke-3 akan berangkat. Layarnya yang putih berkibar, membelah cakrawala yang sama yang dulu dilintasi pelaut-pelaut Bugis-Makassar. Di Barrang Lompo, Marine Station masih tertidur—dindingnya retak, kaca jendela pecah, dan genangan air hujan menggenang di ruang yang seharusnya jadi museum. Tapi selama Orang Laut Korpala masih berlayar, selama itu pula laut tak benar-benar dilupakan.

     Di kejauhan, ombak terus bergulung—membawa suara-suara yang tak pernah didengar oleh mereka yang memunggungi laut. Pramoedya Ananta Toer di Arus Balik-nya menulis: “Sejarah dunia adalah sejarah kelautan.” Kutipan ini merujuk pada kejayaan Nusantara sebagai poros maritim sebelum kolonialisme mengubahnya menjadi bangsa agraris yang terpecah. Di Unhas, sejarah itu seperti dipenggal. Korpala, dengan EPA-nya, adalah upaya menjahitnya kembali. Mereka tak butuh laboratorium megah—laut sendiri adalah laboratorium terbesar. Tak perlu museum ber-AC—terumbu karang dan pasir putih adalah pameran abadi.

     Dan di sanalah kontradiksi itu hidup: Unhas yang memunggungi laut, Korpala memilih menghadapinya. Mereka tak peduli apakah universitas akan berbalik arah. Bagi Orang Laut, yang penting adalah tetap berlayar—seperti kata leluhur Bugis: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke daratan.”

     Soe Hok Gie, sang idealis yang mati muda, pernah berbisik: “Kami mungkin hanya lilin kecil, tapi selama api masih menyala, gelap takkan bisa mengklaim kemenangan.” Filosofi ini cocok menggambarkan Orang Laut Korpala: seperti lilin, menerangi kegelapan dengan keberanian meski api mereka kecil. Orang Laut Korpala mungkin tak akan mengubah arah angin, tapi selama layar masih terkembang, mereka adalah pengingat: laut bukan warisan untuk dijual, tapi nafas yang harus dihidupi.

     Di Barrang Lompo, Marine Station masih terbengkalai. Laba-laba merajut sarang di antara dokumen usang tentang “visi maritim”, sementara angin laut bersenandung pilu mengelus bengkalai rongsokan lab. Tapi di laut lepas, sandeq Korpala terus melaju, menulis sejarah dengan dayung yang tak pernah patah.

k.058

0 Response to "Orang Laut Korpala: Menghidupi Laut yang Dilupakan"

Posting Komentar